Meski begitu, dalam kebiasaan masyarakat Arab, kata dābbah sering kali diidentikkan dengan kuda. Namun dalam konteks ayat yang dimaksud (yakni dalam tafsir Al-Qur’an), para mufasir sepakat bahwa yang dimaksud dengan dābbah adalah makhluk hidup dalam pengertian bahasa yang umum. Artinya, kata tersebut mencakup seluruh hewan, tanpa terkecuali. Tak bisa dimungkiri bahwa jenis dan spesies hewan sangatlah beragam, mencakup makhluk hidup yang tinggal di daratan, lautan, dan pegunungan. Hanya Allah yang mengetahui seluruh jumlahnya secara pasti. Dia-lah Tuhan yang Maha Mengetahui sifat alami setiap makhluk, bentuk tubuh mereka, kondisi kehidupan mereka, makanan yang mereka konsumsi, racun yang mereka miliki, tempat tinggal mereka, serta segala hal yang cocok atau tidak cocok bagi mereka. Maka, Tuhan yang mengatur seluruh lapisan langit dan bumi, serta menciptakan sifat dasar semua makhluk hidup dan tumbuhan, tentu memiliki pengetahuan sempurna tentang segala keadaan mereka." (Imam Fakhruddin Ar Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: darul Turats Al-Arabi,1420 H] Jilid XVII, halaman 318)
Sementara itu, Imam Sya'rawi menjelaskan bahwa istilah dabbah mencakup seluruh makhluk yang hidup dan bergerak di permukaan bumi, termasuk manusia. Jadi, dalam konteks ini pengertiannya lebih luas, tidak terbatas pada hewan-hewan besar saja, tetapi juga meliputi makhluk kecil seperti semut, ulat, bahkan mikroorganisme yang tak tampak oleh mata manusia.
والدابة: كا ما يدب على الأرض، وتستخدم في العرف الخاص للدلالة على أي كائن يدب على الأرض غير الإنسان.
Artinya; "Dan ad-dābbah (dabbah): adalah setiap makhluk yang merayap atau berjalan di atas permukaan bumi. Dalam penggunaan khusus, istilah ini digunakan untuk merujuk pada segala makhluk yang berjalan di bumi selain manusia. (Imam Sya'rawi, Tafsir Khawatirusy Sya'rawi Haulal Qur'anil Karim, Jilid X, halaman 6321). Hal ini juga dijelaskan dalam ayat lain, surat Al-An'am ayat 38, Allah berfirman:
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْۗ مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ ٣٨
Artinya, "Tidak ada seekor hewan pun (yang berada) di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam kitab, kemudian kepada Tuhannya mereka dikumpulkan." Adapun Imam Ath-Thabari, dalam Jami‘ul Bayan, menafsirkan kata dābbah sebagai setiap makhluk hidup yang berjalan di atas bumi, yang memiliki ruh. Ini mencakup binatang darat maupun laut, dari gajah yang menggetarkan tanah hingga ulat kecil yang nyaris tak terlihat. Namun, menariknya, ia mengecualikan burung-burung yang terbang di udara. Mengapa? Karena burung, dalam geraknya yang melayang, tak merayap dan tak menyentuh bumi sebagaimana makhluk-makhluk lain. Ia bebas dari debu, tidak bersentuhan dengan tanah, dan karena itu, dalam kategori linguistik maupun eksistensial, berada dalam zona yang lain. Dalam ayat 64, surat Al-Baqarah Allah berfirman;
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ
Artinya; "Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan," Tafsir Thabari ini membawa kita ke pertanyaan yang lebih dasar: mengapa gerak menjadi dasar klasifikasi makhluk? Mengapa sesuatu yang bergerak di bumi menjadi syarat untuk disebut dābbah? Gerak, dalam pandangan dunia Islam klasik, tidak semata aktivitas mekanik. Ia adalah tanda kehidupan, bukti bahwa sesuatu berada dalam poros takdirnya. Dalam setiap langkah kaki seekor semut, dalam setiap gesekan kaki seekor kadal di pasir padang, terdapat ketundukan kepada hukum ilahi. Ia tidak bergerak tanpa izin. Ia tidak berjalan tanpa arah. Geraknya adalah bentuk ibadah yang paling purba: tunduk tanpa bertanya. Berbeda dengan manusia, yang, meskipun juga termasuk dābbah dalam makna umum, seringkali memberontak terhadap arah geraknya. Ia ingin mengatur ulang lintasan. Ia menolak gravitasi takdir. Ia tak puas hanya dengan merayap; ia ingin melompat, terbang, bahkan melawan arus waktu. Dalam pencarian maknanya, manusia justru sering kehilangan keutuhan geraknya. Ia terjerembab dalam absurditas: berjalan tanpa tahu ke mana, bekerja tanpa paham untuk siapa.
Eksistensialisme modern berbicara banyak tentang absurditas hidup. Camus menulis tentang mitos Sisyphus, manusia yang dihukum untuk mendorong batu ke atas bukit selamanya, hanya agar batu itu menggelinding lagi ke bawah. Tapi dalam dunia dābbah, tak ada mitos. Yang ada hanya kenyataan yang diterima: bahwa hidup memang berjalan pelan, merayap, kadang menyakitkan, namun tetap berada dalam pengawasan Tuhan. Semut tidak bertanya untuk apa ia berjalan. Ia hanya berjalan, dan karena itu, rezekinya datang. Imam Thabari, dengan kejeliannya sebagai mufassir, menyingkap logika kosmik dari gerak yang ditetapkan. Bahwa dābbah bukan sekadar hewan, tetapi simbol makhluk yang tunduk, makhluk yang tidak melawan aliran eksistensinya. Bahkan hewan yang berjalan di kedalaman laut pun dijamin rezekinya oleh Allah. Ia tidak mengirim lamaran kerja. Ia tidak merengek kepada langit. Ia hanya bergerak dalam batas takdirnya, dan itu cukup. Lalu bagaimana dengan manusia, yang justru resah meski diberi akal? Mungkin karena kita terlalu sibuk menafsirkan arah, sampai melupakan makna. Kita ingin memahami segalanya sebelum melangkah. Kita ingin jaminan sebelum percaya. Padahal dābbah adalah sebaliknya: ia melangkah dulu, percaya dulu, baru menerima. Dalam dunia dābbah, rezeki datang bukan karena perencanaan strategis, tetapi karena ketersambungan dengan hukum Tuhan, sebuah jaring halus tak terlihat, yang mengatur arah semut, burung, dan manusia.
Dan mungkin, seperti kata Thabari, kita manusia tetaplah dābbah, tapi hanya ketika kita ingat cara merayap dalam kerendahan hati. Simak penjelasan Imam Thabari ini: والدابة"، اسم لكل ذي رُوح كان غير طائر بجناحيه، لدبيبه على الأرض Artinya; "Kata ad-dābbah (الْدَّابَّة) adalah sebutan bagi setiap makhluk yang bernyawa yang bukan termasuk burung bersayap, karena ia merayap (berjalan perlahan) di atas bumi." (Tafsir Thabari, Jamiul Bayan, Jilid III, halaman 275). Lebih jauh, ada yang menarik dari cara sebagian ulama menafsirkan kata “ʿalā” dalam ayat itu, kata yang berarti “atas.” Sebagian dari mereka, kata Imam Fakhruddin ar-Razi, menjadikannya dalil, bahwa Allah, katanya, memiliki kewajiban memberi rezeki pada setiap makhluk yang melata adalah kewajiban atas-Nya. Bahwa Tuhan, dalam hal ini, terikat. Lantas timbul pertanyaan bagaimana bisa sesuatu menjadi “wajib” atas Dia yang tak terbatasi oleh apa pun? Imam ar-Razi menjelaskan “Itu adalah kewajiban berdasarkan janji Allah, kemurahan-Nya, dan kebaikan-Nya.” Artinya, Tuhan memang memberi, memang menjamin, memang tidak membiarkan yang melata kelaparan, tapi bukan karena Ia diwajibkan. Melainkan karena Ia menjanjikan. Dan karena Ia Maha Pemurah. Seperti seorang ibu yang setiap pagi menyuapi anaknya. Apakah itu karena ia terikat hukum, atau karena cinta telah menjelma naluri? Mungkin cinta selalu tampak seperti kewajiban bagi mereka yang berdiri di luar lingkarannya. Tapi bagi yang berada di dalam, tak ada yang lebih bebas dari memberi. Kita hidup di zaman yang suka menghitung. Termasuk dalam relasi dengan Tuhan. Maka lahirlah logika: kalau aku berdoa, Dia wajib mendengar. Kalau aku baik, Dia harus membalas. Kalau aku menderita, berarti ada yang salah dengan-Nya. Kita ingin Tuhan tunduk pada sistem akuntansi kosmik, seperti bank yang harus transparan.
Tapi ayat itu, dan tafsir Imam ar-Razi, memberi pelajaran sebaliknya. Bahwa kewajiban dalam pengertian-Nya adalah bentuk tertinggi dari janji, bukan tekanan. Kita diberi bukan karena menuntut, tapi karena Allah ingin memberi. Dan yang melata pun tak tahu bahwa mereka diberi. Seekor cacing di tanah basah tak mengajukan proposal. Seekor semut di balik celah tembok tak menyusun argumen. Tapi mereka makan. Mereka kenyang. Mereka hidup. Mereka tidak menuntut Tuhan untuk "wajib." Mereka hanya berjalan. Dan Tuhan memberi. Mungkin inilah yang dimaksud Imam ar-Razi. Bahwa dalam kebebasan-Nya yang mutlak, Allah memilih untuk terikat, bukan karena Ia dipaksa, tapi karena Ia sendiri yang berjanji. Dan karena itu, rezeki tetap turun. Bukan karena Tuhan wajib memberi. Tapi karena Tuhan adalah Pemberi itu sendiri.
الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: تَعَلَّقَ بَعْضُهُمْ بِأَنَّهُ يَجِبُ عَلَى اللَّه تَعَالَى بَعْضُ الْأَشْيَاءِ بِهَذِهِ الْآيَةِ وَقَالَ: إِنَّ كَلِمَةَ (عَلَى) لِلْوُجُوبِ، وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ إِيصَالَ الرِّزْقِ إِلَى الدَّابَّةِ وَاجِبٌ عَلَى اللَّه. وَجَوَابُهُ: أَنَّهُ وَاجِبٌ بِحَسَبِ الْوَعْدِ وَالْفَضْلِ وَالْإِحْسَانِ
Artinya, "Masalah Kedua: Sebagian orang berpegang pada ayat ini untuk menyatakan bahwa ada beberapa hal yang wajib atas Allah Ta'ala, dan mereka berkata: Kata "على" (ala, atas) menunjukkan kewajiban, dan hal ini menunjukkan bahwa menyampaikan rezeki kepada makhluk melata adalah kewajiban atas Allah. Jawabannya: Itu adalah kewajiban berdasarkan janji Allah, kemurahan-Nya, dan kebaikan-Nya." (Tafsir Mafatihul Ghaib, Jilid XVII, halaman 319). Imam Al-Qurthubi, dalam tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, menyebut kata "ma" di situ adalah penafian mutlak, dan "min" mempertebal makna. Seakan hendak berkata: tidak ada satu pun, tidak satu pun yang luput dari perhatian Allah. Dalam semesta makhluk yang berjalan, merayap, melata, semuanya, tanpa kecuali, mendapat jatah rezeki dari sang pemilik alam semesta. Namun rezeki, seperti juga nasib, tak selalu hadir dalam bentuk yang sama. Mujahid, seorang ahli tafsir dari generasi awal, menyebut bahwa semua rezeki datang dari Allah. Tapi sebagian mufasir menambahkan catatan; jaminan itu bukan kewajiban atas Diri Tuhan. Rezeki karunia. Bukan kontrak. Tak ada yang bisa memaksa kemurahan-Nya. Bila diberi, itu karena Allah ingin memberi. Bila ditunda, itu pun kehendak-Nya. Kasih yang tak pernah bisa ditakar, apalagi dituntut. Ibarat bayi yang lahir prematur, seminggu lebih cepat dari jadwal. Ibunya belum siap menyusui. Tapi susu itu, dalam waktu singkat, tetap datang. Bukan karena bayi itu memiliki susu, melainkan karena rezeki itu, entah dari mana arahnya, mengalir kepada si bay. Rezeki, kata para ulama, tak identik dengan kepemilikan. Binatang yang makan rumput di ladang bukan berarti memiliki ladang itu. Tapi mereka tetap hidup. Tetap kenyang. Begitu pula manusia. Rezeki tak soal harta semata.Rezeki itu luas; bisa berupa nafas. Ruh, bahkan bisa disebut rezeki. Ada yang mati sebelum makan, tapi dalam takaran Tuhan, mungkin justru nyawa itulah rezeki terbesarnya. Maka rezeki tak selalu tampak. Ia bisa berupa ilmu, bisa cahaya yang menyelinap ke hati. Bisa pengampunan, yang tak kasat mata, tapi menghidupkan batin seperti embun pagi menyentuh tanah gersang.
Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman surat Adz-Dzariyat:وَفِى السَّمَاۤءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوْعَدُوْنَ ٢٢ Artinya, "Di langit terdapat pula (hujan yang menjadi sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu." Dalam ayat ini, rezeki ada di langit, bukan di toko, bukan di kantor, bukan di rekening. Rezeki itu bukan milik. Ia semacam hak yang ditiupkan, bukan dimiliki. Maka tak ada yang bisa “merebut” rezeki orang lain. Yang makan dari harta yang bukan miliknya, tetap hanya makan rezekinya sendiri. Sebab, menurut hukum langit, rezeki tak pernah salah alamat. Kita bayangkan satu biji gandum, tumbuh di tanah entah di mana, yang kelak akan menjadi roti bagi seseorang di kota yang jauh. Ia tak tahu dari mana datangnya. Tapi tangan Tuhan, mungkin, telah lama mengaturnya. Menggiring hujan, meniup angin, menggerakkan petani, agar roti itu sampai tepat waktu. Simak penjelasan Imam Qurthubi berikut: قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَما مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها) " مَا" نَفْيٌ وَ" مِنْ" زَائِدَةٌ وَ" دَابَّةٍ" فِي مَوْضِعِ رَفْعٍ، التَّقْدِيرُ: وَمَا دَابَّةٌ." إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُها"" عَلَى" بِمَعْنَى" مِنْ"، أَيْ مِنَ اللَّهِ رِزْقُهَا، يَدُلُّ عَلَيْهِ قَوْلُ، مُجَاهِدٍ: كُلُّ مَا جَاءَهَا مِنْ رِزْقٍ فَمِنَ اللَّهِ. وَقِيلَ:" عَلَى اللَّهِ" أَيْ فَضْلًا لَا وُجُوبًا. وَقِيلَ: وَعْدًا مِنْهُ حَقًّا. وَقَدْ تَقَدَّمَ بَيَانُ هَذَا الْمَعْنَى فِي" النِّسَاءِ" «١» وَأَنَّهُ سُبْحَانَهُ لَا يَجِبُ عليه شي Artinya, Firman Allah Ta'ala: "Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah." Kata "mā" (ما) adalah huruf nafi (penafian), "min" (من) bersifat tambahan (zā’idah), dan kata "dābbah" (دابةٍ) berada dalam posisi marfū‘ (bermakna subjek), sehingga takdir (struktur kalimat yang dimaksud) adalah: "Dan tidak ada makhluk melata..." Firman-Nya: "kecuali Allah-lah yang menjamin rezekinya", huruf ‘alā (على) di sini bermakna min (من), artinya: rezekinya berasal dari Allah. Hal ini ditunjukkan oleh perkataan Mujahid: "Setiap rezeki yang sampai kepadanya, maka itu dari Allah." Ada juga yang mengatakan bahwa makna ‘alā Allāh (على الله) adalah sebagai karunia, bukan suatu kewajiban. Ada pula yang mengatakan bahwa itu adalah janji dari-Nya yang pasti benar. Makna ini telah dijelaskan sebelumnya dalam surah An-Nisā’, bahwa sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak ada sesuatu pun yang wajib atas-Nya. (Imam Qurthubi, Tafsir Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub Al Mishriyah, 1964 M], Jilid IX, halaman 6). Berdasarkan keterangan para ulama tafsir di atas, secara teologis, rezeki adalah jaminan hidup dari Allah, Zat yang Maha Memberi, yang memberi makan burung di langit dan ikan di dasar laut, bahkan kepada makhluk-makhluk yang tak pernah kita lihat atau pikirkan. Tidak ada kekuatan lain di jagat raya ini, baik di darat maupun di laut, yang mampu memenuhi kebutuhan makhluk hidup selain Dia. Setiap makhluk, dari yang paling kecil hingga yang paling besar, hidup karena kehendak dan pemeliharaan Allah. Tapi faktanya, rezeki manusia tak lagi sekadar perkara hujan dan musim panen. Ia adalah perkara yang menyusuri jalur birokrasi, melewati meja-meja kekuasaan, bahkan dihitung lewat kalkulasi algoritma dalam sistem digital yang tak dikenalnya. Di sinilah rezeki kehilangan kesederhanaannya. Ia menjadi sesuatu yang—sering kali tanpa kita sadari—sangat politis. Ia hadir sebagai hak yang bisa ditunda, dibatasi, bahkan dicabut, tergantung pada siapa yang mengatur dan siapa yang diatur. Rezeki, dalam cara pandang ini, memiliki dimensi struktural dan kultural. Artinya, untuk memperolehnya, manusia harus menyelam ke dalam sistem. Ia harus bernegosiasi, bahkan bergulat, dalam pusaran politik, ekonomi, hukum, dan budaya. Tidak cukup hanya bekerja keras atau berdoa khusyuk. Sebab, sebagaimana sejarah membuktikan, banyak yang tekun dan jujur tapi tetap tak mendapat bagian. Ada sesuatu yang lebih besar dari ketekunan: sistem. Di sinilah kita harus melihat bahwa struktur ekonomi dan sistem distribusi bukan sekadar perangkat teknis, tapi arena pertarungan. Modal bukan hanya soal uang, tapi juga kuasa. Regulasi bukan hanya soal hukum, tapi juga pengetahuan siapa yang bisa menyusunnya dan untuk siapa ia ditulis. Sumber daya, tanah, air, bahkan udara bersih, bukan lagi milik bersama, tapi telah dijadikan komoditas yang bisa dijual dan dibeli. Kekayaan pun akhirnya tersebar tidak merata, bukan karena hukum alam, tetapi karena desain sosial. Di sisi lain, budaya kerja dan etika bisnis tak bisa dilepaskan dari nilai. Di sini agama, filsafat, bahkan mitos, punya andil. Cara kita memperlakukan rezeki, apakah dengan rasa syukur atau kerakusan, adalah cerminan dari nilai-nilai yang kita anut. Tapi nilai-nilai pun bukan entitas yang netral. Ia dibentuk, diwariskan, bahkan dipolitisasi. Maka tidak heran bila dalam satu sistem, keserakahan bisa disulap menjadi keunggulan, dan dalam sistem lain, kesederhanaan dianggap kemunduran. Kita sering bicara tentang rezeki seolah itu hanya urusan pribadi. Seolah cukup dengan usaha dan doa. Padahal rezeki adalah juga perkara kolektif. Ia dipengaruhi oleh siapa yang menguasai tanah, siapa yang bisa masuk ke pasar, siapa yang boleh mendirikan toko. Ia bukan hanya milik individu, tapi juga hasil dari kesepakatan, konflik, dan kadang-kadang ketidakadilan. Maka ketika seseorang lapar, mungkin yang perlu ditanyakan bukan hanya “kenapa dia tidak bekerja?”, tapi juga “sistem macam apa yang membuat ia tak bisa bekerja?” Sistem itulah yang menentukan rezeki. Tapi sistem juga tidak turun dari langit. Ia dibangun, disusun, dan dijalankan oleh manusia, atau lebih tepatnya, oleh segelintir manusia. Dan ketika sistem dibangun tanpa suara mereka yang miskin dan terpinggirkan, maka rezeki menjadi barang langka bagi sebagian besar. Ia menjadi hak istimewa yang hanya bisa dinikmati oleh yang punya akses dan koneksi. Selebihnya hidup dari sisa-sisa: remah roti dari meja para pemilik modal. Mungkin inilah yang membuat kita harus berpikir ulang. Tentang bagaimana rezeki diceritakan. Tentang bagaimana ia diajarkan di sekolah, di mimbar agama, dan dalam media. Apakah ia semata-mata soal keberuntungan atau soal strategi? Apakah ia milik semua orang atau hanya yang "layak"? Di sinilah kita melihat bahwa narasi tentang rezeki pun tidak netral. Ia bisa dijadikan alat penghibur, tapi juga alat perlawanan. Sebab pada akhirnya, rezeki bukan hanya soal makan hari ini. Ia adalah juga soal keadilan. Ia menyentuh hak hidup, hak memilih, hak menentukan arah hidup. Dan ketika rezeki dikendalikan oleh segelintir, maka kemiskinan bukan lagi takdir, tapi akibat. Akibat dari sistem yang dibangun bukan untuk semua, tapi untuk sebagian. Dalam situasi seperti ini, membicarakan rezeki adalah juga membicarakan perlawanan: terhadap struktur yang timpang, terhadap budaya yang membenarkan ketimpangan itu. Dan barangkali di sanalah letak kemuliaan manusia. Bukan hanya karena ia mampu bertahan hidup, tetapi karena ia mampu membentuk dan mengubah sistem. Karena ia bisa berkata bahwa rezeki bukan hanya perkara nasib, tapi perkara bersama. Sebab manusia hidup bukan dari alam semata, tetapi dari harapan akan tatanan yang lebih adil. Sebuah tatanan di mana rezeki bukan milik segelintir, tapi milik bersama. Sebab yang paling mulia, adalah mereka yang tak hanya makan dari bumi, tapi juga menjaga agar bumi bisa memberi makan kepada semua. Dengan demikian, ayat ini menjelaskan segala sesuatu telah Allah catat dan atur dengan pengetahuan dan kehendak. Tak ada yang terlupakan, tak ada yang luput. Bahkan rezeki seekor nyamuk telah tertulis jauh sebelum ia lahir. Sejatinya, bagi manusia modern yang sering dibayang-bayangi kekhawatiran masa depan, ayat ini adalah pelipur lara dan peneguh iman. Selama manusia terus berusaha, bertawakal, dan tidak zalim, maka Allah akan membuka pintu rezeki dengan cara yang tak disangka-sangka. Wallahu a'lam. Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, tinggal di Parung.
Sumber: https://islam.nu.or.id/tafsir/allah-menjamin-rezeki-seluruh-makhluknya-ini-penjelasan-ayat-6-surat-hud-FeFPv